JAKARTA, KOMPAS.com - Nama besar Nahdlatul Ulama (NU) kembali ditarik-tarik ke politik setelah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, resmi menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping bakal calon presiden (capres) Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan.
Katanya, sebelum menerima pinangan Anies, Muhaimin lebih dulu meminta restu ke para kiai NU. Lantaran para kiai memberikan lampu hijau, Muhaimin tak menolak tawaran menjadi bakal calon RI-2.
“Dalam waktu hanya tiga hari, seluruh pengurus bergerak kepada para ulama, para kiai, para senior, seluruh yang terkait pimpinan kita,” kata Cak Imin, demikian sapaan akrab Muhaimin, saat berpidato dalam deklarasi pencapresan di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (2/9/2023).
“Dan alhamdulillah dalam waktu singkat mendapat jawaban yang lengkap dari ulama-ulama kita semua, istikharahnya, semua gagasannya, semua pertimbangannya, semua menyatakan restu dan dukungan atas pasangan Mas Anis dengan saya,” tuturnya.
Namun demikian, klaim PKB itu dibantah oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menyebut bahwa pihaknya tak pernah membicarakan ihwal capres-cawapres.
"Kalau ada klaim bahwa kiai-kiai PBNU merestui, itu sama sekali tidak benar karena sama sekali tidak ada pembicaraan dalam PBNU mengenai calon, sama sekali tidak pernah ada pembicaraan di PBNU tentang calon-calon presiden," kata Yahya, Sabtu (2/9/2023).
"Karena itu di luar domain kami sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan," sambung dia.
Yahya mempersilakan setiap partai politik (parpol) dan bakal capres-cawapres berkontestasi dengan baik. Namun, dia menegaskan, PBNU tidak menunjuk atau mendukung calon tertentu pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
"Parpol silakan berjuang untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Tapi, saya ulangi sekali lagi, tidak ada calon atas nama NU," tuturnya.
Tarik menarik NU di panggung politik bukan sekali ini saja terjadi. Ini tak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya PKB yang melibatkan campur tangan warga Nahdliyin.
Berdirinya PKB
Mengutip laman resmi PKB, Partai Kebangkitan Bangsa lahir setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden selama 32 tahun pada 21 Mei 1998. Sehari setelah peristiwa bersejarah itu, ramai-ramai warga Nahdliyin mengusulkan ke PBNU agar membentuk partai politik.
Nama-nama partai politik langsung diusulkan. Sedikitnya, ada 39 nama yang gagas. Nama terbanyak yang diusulkan ialah Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat, dan Kebangkitan Bangsa.
Ada juga yang menggagas lambang parpol. Banyak warga Nahdliyin yang mengusulkan gambar bumi, bintang sembilan, dan warna hijau sebagai lambang.
Bersamaan dengan itu, muncul pula usulan tentang visi dan misi parpol, AD/ART, hingga nama-nama pengurus parpol.
PBNU menanggapi ide-ide tersebut secara hati-hati. Sebab, hasil Muktamar ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan parpol mana pun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.
Namun, sikap PBNU ini dianggap tak memuaskan warga Nahdliyin. Banyak yang tidak sabar dan langsung menyatakan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat.
Di Purwokerto, Jawa Tengah, warga NU mendeklarasikan parpol bernama Partai Bintang Sembilan. Sementara, di Cirebon, Jawa Barat, kalangan Nahdliyin mengumumkan berdirinya Partai Kebangkitan Umat (Perkanu).
Menyikapi situasi ini, pada 3 Juni 1998, PBNU menggelar rapat harian syuriyah dan tanfidziyah. Forum ini menghasilkan keputusan membentuk tim lima yang tugasnya memenuhi aspirasi warga NU.
Tim lima diketuai oleh Ma’ruf Amin yang kala itu menjabat sebagai Rais Suriyah/Kordinator Harian PBNU. Anggotanya, petinggi-petinggi PBNU lain yakni Dawam Anwar, Said Aqil Siradj, HM Rozy Munir, dan Ahmad Bagdja.
Selain itu juga dibentuk tim asistensi yang diketuai oleh Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU saat itu, Arifin Djunaedi, dengan anggota Muhyiddin Arubusman, HM Fachri Thaha Ma’ruf, Abdul Aziz, Andi Muarli Sunrawa, Nasihin Hasan, Lukman Saifuddin, Amin Said Husni, dan Muhaimin Iskandar.
Tim asistensi bertugas membantu tim lima mengiventarisasi dan merangkum usulan pembentukan parpol, serta membantu melahirkan partai yang mewadahi aspirasi poitik warga NU.
Berlanjut pada 26-28 Juni 1998, tim lima dan tim asistensi menggelar pertemuan untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Pertemuan ini membuahkan lima draf tentang pokok-pokok pikiran NU mengenai reformasi politik, mabda’ siyasi, hubungan partai politik dengan NU, AD/ART, dan naskah deklarasi.
Kala itu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sempat mengungkapkan keprihatinannya lantaran warga NU ingin mendirikan partai politik. Menurut Gus Dur, ini terkesan mengaitkan agama dengan politik.
Namun, akhir Juni 1998, sikap Gus Dur mengendur. Ia pun bersedia menginisiasi kelahiran parpol asal berlandaskan pada ahlussunah wal jamaah.
Keinginan Gus Dur itu diperkuat dukungan tokoh-tokoh NU lainnya seperti Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, Mustofa Bisri, serta Muchith Muzadi.
Dengan modal tersebut, digelar musyawarah antara tim asistensi lajnah, tim lajnah, tim NU, tim asistensi NU, perwakilan wilayah, para tokoh pesantren, dan tokoh masyarakat untuk membahas nama parpol.
Nama Partai Kebangkitan Bangsa, yang selanjutnya disebut PKB, pun disepakati. PKB dideklarasikan sebagai partai politik pada 23 Juli 1998. Bunyi deklarasi itu sebagai berikut:
“Bahwa cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan makmur, serta untuk mewujudkan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bahwa wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat beradab dan sejahtera yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan yang bersumber dari hati nurani, bisa dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah sosial yang bertumpu pada kekuatan sendiri, bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi, tolong menolong dalam kebajikan, serta konsisten menjalankan garis/ketentuan yang telah disepakati bersama.
Maka dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah dan inayah Allah SWT serta didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan dan demokrasi, kami warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)”.
Selama lebih dari dua dekade berdiri, PKB pernah dipimpin oleh sejumlah nama. Pada awal dibentuk, PKB diketuai oleh Matori Abdul Djalil, tokoh NU yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Matori memimpin PKB selama 3 tahun sampai 15 Agustus 2001, sebelum ia ditunjuk oleh Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri untuk mengisi kursi Menteri Pertahanan Kabinet Gotong Royong.
Dari Matori, tongkat kepemimpinan PKB dilanjutkan oleh Alwi Shihab, tokoh NU yang juga dikenal sebagai pengusaha. Saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, Alwi dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri selama 29 Oktober 1999-23 Juli 2001.
Sementara, berbarengan dengan dirinya memimpin PKB, Alwi dipercaya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Namun, jabatan itu hanya Alwi emban hingga 7 Desember 2005.
Alwi turun dari kursi ketua umum PKB pada 25 Mei 2005. Ia lantas digantikan oleh Muhaimin Iskandar.
Jabatan Muhaimin di kursi tertinggi PKB belum digantikan hingga saat ini. Dengan demikian Wakil Ketua DPR RI itu telah duduk di kursi Ketua Umum PKB selama 18 tahun.
Sumber : PKB dan Sejarah Kelahirannya yang Lekat dengan NU (kompas.com)
0 Komentar